Tuesday, November 8, 2011

Dilema Menjadi Manusia dan Narasi Positif


How many roads must a man walk down, before you call him a man? Pertanyaan itu ada dalam lagu Blowing in the Wind yang dipopulerkan Bob Dylan. Pertanyaan menarik mengenai dilema menjadi manusia. Ternyata, manusia tak dengan sendirinya menjadi manusia hanya karena tergolong spesies manusia. Memikirkan jawaban pertanyaan tersebut, saya menjadi teringat beberapa kisah dari dongeng maupun film. Saya menemukan, pada kisah-kisah itu ada pesan yang bisa jadi penting namun terabaikan, yaitu "Narasi Positif".

Dalam dongeng Pinokio, yang ditulis oleh Carlo Collodi pada tahun 1883, sang boneka kayu dijanjikan oleh peri bahwa dirinya bisa menjadi manusia jika mendengar suara hatinya. Suara hati ini disimbolkan Jimmy Cengkerik. Persoalan kejujuran, keberbaktian dan cinta kemudian mengemuka dan menjadi warna dari kisah tersebut. Selain itu, ada satu persoalan penting dalam kisah tersebut, yaitu harapan Gepetto, si tukang kayu agar Pinokio menjadi manusia seutuhnya. Di momen puncak, kasih sayang Gepetto membuatnya rela mempertaruhkan nyawa demi mencari Pinokio. Mereka pun bertemu di dalam perut seekor ikan paus. Cinta Gepetto pada Pinokio menandai titik balik Pinokio menjadi manusia seutuhnya.

Khazanah Yunanimemiliki mitologi serupa, yaitu Pygmalion. Dikisahkan, Pygmalion adalah seorang pemahat yang suatu ketika jatuh cinta pada patung perempuan dari gading yang merupakan karyanya sendiri. Pygmalion memanjatkan doa pada Venus, sang Dewi Cinta: "Aku berharap patung gading pahatanku akan berubah menjadi perempuan sesungguhnya". Venus mengabulkan doa Pygmalion dan patung tersebut benar-benar hidup menjadi manusia. Kembali kita menemukan persoalan cinta dan harapan Pygmalion. Kisah Pygmalion ini di kemudian hari berkembang menjadi teori Pygmalion Effect, yaitu teori mengenai harapan positif.

Sebuah film pop di tahun 1987, berjudul Mannequin menceritakan cerita yang kurang lebih sama. Di Mesir kuno, Ema ‘Emmy' Hasure bersembunyi dalam piramid dari ibunya yang mencoba menikahkan dengan seorang juragan unta. Emmy berdoa pada dewa agar dirinya diberi jalan keluar dan menemukan cinta sejatinya. Permohonan Emmy terkabul dan ia mengembara melampaui ruang dan waktu hingga terdampar di Philadelphia tahun 1987. Dikisahkan, Jonathan Switcher, seorang pekerja muda di perusahaan manekin, membuat sebuah manekin yang sangat indah, begitu indahnya hingga ia memerlakukan istimewa. Kelakuannya ini membuat Jonathan kemudian dipecat dari perusahaan tersebut.

Namun, perjalanan hidup memertemukan kembali Jonathan dengan manekin buatannya di sebuah etalasedepartment store. Petualangan pun dimulai ketika manekin itu hidup menjadi Emmy atau Ema Hasure. Sayangnya, Emmy hidup hanya jika berdua dengan Jonathan. Jika ada orang lain yang melihat, maka Emmy kembali menjadi manekin. Sampai suatu ketika, Jonathan memertaruhkan nyawanya ketika manekin itu hendak dihancurkan bersama manekin-manekin lain. Cinta Jonathan yang begitu besar ini, kemudian membuat Emmy dapat hidup seutuhnya, ia tak berubah kembali menjadi manekin walau ada orang selain Jonathan yang melihatnya.

Cerita-cerita tersebut memuat pesan akan pentingnya sebuah proyeksi narasi positif dari orang lain untuk sebuah kemanusiaan yang seutuhnya. Proyeksi narasi positif memiliki dua elemen penting, yaitu cinta dan kepercayaan akan kemenjadian orang yang dicintai.

Dalam dunia motivasi, berkembanglah teori berdasar narasi positif atau harapan positif yang diproyeksikan pada seseorang, yaitu teori Pygmalion Effect. Dikenal juga dengan nama Rosenthal Effect, karena studi mengenai hal ini dipelopori oleh Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson. Pygmalion effect adalah fenomena di mana semakin besar ekspektasi positif kita proyeksikan pada seseorang, misalnya anak, siswa atau karyawan, maka akan semakin baik performa mereka.

Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson melaporkan dan mendiskusikanpanjang lebar efek Pygmalion. Dalam studi mereka, jika guru mengharapkan kinerja yang meningkat pada beberapa anak-anak, maka yang terjadi kemudian anak-anak itu memang menunjukkan peningkatan. Tujuan dari percobaan untuk mendukung hipotesis ‘Realitas yang Dapat Dipengaruhi oleh Harapan Orang Lain'. Pengaruh ini dapat menguntungkan serta merusak tergantung pada label atau narasi yang diproyeksikan pada individu. Efek harapan dari pengamat, termasuk melibatkan harapan yang tidak disadari atau bias, ternyata dapat diuji dalam situasi kehidupan nyata. Rosenthal menemukan bahwa harapan itu memperoleh pemenuhannya karena kenyataan menciptakan self-fulfilling prophecy (nubuatan yang memperoleh pemenuhan dengan sendirinya) sebagai hasilnya.

Carol Dweck, psikolog yang memelajari motivasi, mengatakan bahwa semua nasihat mengenai pengasuhan di dunia bisa disaring menjadi dua aturan sederhana: perhatikan apa yang memesona anak-anak Anda, dan pujilah mereka untuk usahanya. Dalam sebuah studi menarik, Dweck membagi tujuh ratus anak sekolah menengah pertama yang memiliki pencapaian rendah ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama diberikan pelatihan keterampilan belajar selama delapan minggu; kelompok kedua diberi pelatihan yang sama dengan tambahan: satu sesi selama limap uluh menit yang menggambarkan bagaimana otak manusia tumbuh ketika ia ditantang.

Dalam satu semester, kelompok kedua dapat meningkatkan nilai dan kebiasaan belajar mereka secara signifikan. Para peneliti tidak memberitahu para guru dari kelompok mana anak-anak itu berasal, namun para guru mengetahuinya. Meski para guru tidak bisa menunjuk siapa berasal dari kelompok mana, namun para guru mengetahui suatu perubahan besar telah terjadi.

Penerapan narasi positif, dapat dilakukan pada banyak persoalan, mulai pengasuhan, pengajaran hingga manajemen. Saya merenungkan, sebenarnya ini hal sederhana, namun agaknya sulit dilakukan orang dewasa ini. Banyak orang lebih suka menciptakan tekanan dan proyeksi negatif pada orang lain, termasuk murid, anak, dan karyawan. Padahal, hal semacam ini seringkali justru memunculkan permasalahan, misalnya dengan tidak berkembangnya anak didik, konflik psikis pada anak, atau kinerja karyawan yang buruk karena merasa tidak dihargai.

Saya berharap, jawaban dari permasalahan ini tidak ada pada ‘Blowing in the Wind' seperti dalam lagu Bob Dylan tersebut, melainkan kita temukan pada hati kita masing-masing.

Semoga menjadi perenungan kita bersama.

2 komentar:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar, blog ini sudah dofollow